Tewasnya 18 tentara Filipina dalam perang
sengit melawan kelompok Abu Sayyaf selama sekitar 10 jam pada Sabtu pekan lalu
tercatat sebagai salah satu kerugian terbesar bagi militer Filipina dalam
beberapa tahun terakhir.
Suara kritis dan pesimistis terhadap kemampuan pemerintah dan militer Filipina pun mulai muncul.
“Begitu banyak tentara tewas dalam pertempuran setiap tahun. Apakah ini bagian darisebuah kegagalan pemerintah atau tidak terhadap para pemberontak, dan teroris takutpada pemerintah lagi?,” kata Anne Turla, pemimpin dan pendiri Soldiers’ Wives and Girlfriends (SWAG) Filipina.
Dalam perang sengit itu, puluhan tentara Filipina juga terluka. Sedangkan dari kubu Abu Sayyaf hanya lima militan yang tewas.
Operasi militer Filipina diluncurkan setelah maraknya penculikan warga asing, termasuk 10 warga negara Indonesia (WNI) sejak Maret 2016 lalu. Sampai hari ini, 10 WNI itu belum dibebaskan. Pemerintah Filipina juga belum memberikan laporan perkembangan upaya pembebasan 10 WNI.
Militer Indonesia sejatinya sudah siap untuk membebaskan 10 WNI. Namun, tentara Indonesia dilarang masuk wilayah Filipina berdasarkan konstitusi di negara itu yang memang melarang tentara asing masuk.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina, Jenderal Hernando Iriberri, memerintahkanperang melawan kelompok Abu Sayyaf nonstop. Meski 18 tentara Filipina tewas, Jenderal Iriberi tetap memuji keberanian tentaranya.
”Kami berduka. Seluruh angkatan bersenjata berduka,” kata Iriberri mengacu pada kematian 18 tentara dalam perang dengan Abu Sayyaf fi di desa Baguindan, Kota Tipo-Tipo, Basilan.
Senator yang juga calon presiden Filipina, Grace Poe, minta operasi militer terhadap Abu Sayyaf memperhatikan nasib warga sipil yang tidak bersalah.”Teroris ini harus segera dikejar dan dihancurkan oleh kekuatan penuh pasukan militer kami, dengan memperhatikan keselamatan warga sipil tak berdosa,” katanya, seperti dikutip Inquirer, Senin (11/4/2016).
Sementara itu, Wakil Presiden sekaligus calon presiden Filipina, Jejomar Binay,menyoroti masalah kekerasan oleh kelompok Abu Sayyaf terkait dengan persoalan kemiskinan. ” Tragedi ini adalah pengingat bagi kita untuk mengatasi masalah kemiskinan, yang merupakan penyebab masalah perdamaian dan ketertiban di Mindanao,” ujarnya.
Suara kritis dan pesimistis terhadap kemampuan pemerintah dan militer Filipina pun mulai muncul.
“Begitu banyak tentara tewas dalam pertempuran setiap tahun. Apakah ini bagian darisebuah kegagalan pemerintah atau tidak terhadap para pemberontak, dan teroris takutpada pemerintah lagi?,” kata Anne Turla, pemimpin dan pendiri Soldiers’ Wives and Girlfriends (SWAG) Filipina.
Dalam perang sengit itu, puluhan tentara Filipina juga terluka. Sedangkan dari kubu Abu Sayyaf hanya lima militan yang tewas.
Operasi militer Filipina diluncurkan setelah maraknya penculikan warga asing, termasuk 10 warga negara Indonesia (WNI) sejak Maret 2016 lalu. Sampai hari ini, 10 WNI itu belum dibebaskan. Pemerintah Filipina juga belum memberikan laporan perkembangan upaya pembebasan 10 WNI.
Militer Indonesia sejatinya sudah siap untuk membebaskan 10 WNI. Namun, tentara Indonesia dilarang masuk wilayah Filipina berdasarkan konstitusi di negara itu yang memang melarang tentara asing masuk.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina, Jenderal Hernando Iriberri, memerintahkanperang melawan kelompok Abu Sayyaf nonstop. Meski 18 tentara Filipina tewas, Jenderal Iriberi tetap memuji keberanian tentaranya.
”Kami berduka. Seluruh angkatan bersenjata berduka,” kata Iriberri mengacu pada kematian 18 tentara dalam perang dengan Abu Sayyaf fi di desa Baguindan, Kota Tipo-Tipo, Basilan.
Senator yang juga calon presiden Filipina, Grace Poe, minta operasi militer terhadap Abu Sayyaf memperhatikan nasib warga sipil yang tidak bersalah.”Teroris ini harus segera dikejar dan dihancurkan oleh kekuatan penuh pasukan militer kami, dengan memperhatikan keselamatan warga sipil tak berdosa,” katanya, seperti dikutip Inquirer, Senin (11/4/2016).
Sementara itu, Wakil Presiden sekaligus calon presiden Filipina, Jejomar Binay,menyoroti masalah kekerasan oleh kelompok Abu Sayyaf terkait dengan persoalan kemiskinan. ” Tragedi ini adalah pengingat bagi kita untuk mengatasi masalah kemiskinan, yang merupakan penyebab masalah perdamaian dan ketertiban di Mindanao,” ujarnya.